Kesuksesan adalah sebuah proses panjang dan berliku, yang di dalamnya mengandung antara lain semangat, kerja keras, dan optimisme. Modal itulah yang dimiliki Zaenal Abidin, warga Dusun Jurit Utara, Desa Jurit, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Pria lulusan madrasah aliyah itu kini menjadi juragan kambing, mengoordinasi 80 peternak serta mempekerjakan banyak anak muda pengangguran dan putus sekolah tingkat SLTP dan SLTA sebagai pengarat (penggembala). Ada sekitar 15 kandang kambing yang tersebar di beberapa dusun, yang diurus para pengarat putus sekolah itu. Setiap kandang berisi 30-40 kambing.
Keberhasilannya dalam menggugah kreativitas dan inovasi masyarakat, serta memberi lahan kerja bagi sesama generasi muda desanya itu, menempatkan Zaenal sebagai Juara I Pemuda Pelopor tingkat Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010.
"Mudah-mudahan apa yang saya lakukan saat ini bermanfaat bagi generasi seusia saya, yang biasanyafce-dikit-sedikit menjual tanah dan ternak buat ongkos menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia) ke Malaysia. Setelah saya pikir-pikir, asalkan mau kerja, jangankan sekadar makan, harta pun bisa kita cari di desa kita sendiri. Kita tidak perlu ke Malaysia jadi TKI," ucapnya.
Menurut Zaenal, seekor kambing yang dibeli Rp 500.000, setelah dipelihara sekitar enam bulan, laku dijual Rp 850.000-Rp 900.000. Berbeda dengan sapi, yang dibeli seharga Rp 6 juta per ekor, belum tentu laku dijual sebesar harga pembeliannya setelah dipelihara enam bulan.
Ternak kambing itu dipasarkan di Kota Mataram. Setiap hari, dia memasok 10-20 ekor. Permintaan paling banyak pada dua pekan sebelum Idul Adha. Selama dua pekan setidaknya 500 kambing disuplai ke Mataram, dan sekitar 750 ekor dikirim ke Lom-bok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Timur.
Untuk memenuhi permintaan menjelang Idul Adha nanti, sejauh ini Zaenal sudah menyiapkan 470 kambing dari para anggota kelompoknya. Omzet usaha kelompoknya itu diperkirakan mencapai Rp 400 juta-Rp 500 juta
Tak menyerah
Usaha pemeliharaan kambing itu berawal tahun 2004 setelah Zaenal diberhentikan dari pekerjaannya sebagai penjaga warung telepon (wartel) di desanya. Wartel itu bangkrut karena kalah bersaing setelah masuknya telepon genggam ke pedesaan.
Dia sempat mencari nafkah sebagai tukang ojek, dengan sepeda motor milik calon mertuanya. Namun, usaha ini pun kandas karena ojek bertambah banyak, sementara penumpang terbatas. Sepeda motor itu lalu dijual Rp 4.260.000.
Uang hasil penjualan itu rencananya dipakai untuk biaya administrasi dan transportasi Zaenal ke Malaysia untuk menjadi buruh migran. Namun, cerita dan pengalaman buruk tentang TKI mengurungkan niatnya. "Apalagi saya takut naik kapal laut maupun kapal terbang," ujar Zaenal.
Lalu, uang hasil penjualan sepeda motor itu dia gunakan imtuk membeli 26 ekor kambing. Dia bekerja keras menyabit rumput untuk pakan ternaknya Setelah 10 bulan dipelihara, Zaenal bisa mengumpulkan Rp 19.500.000 dari penjualan semua kambingnya.
Melihat keberhasilan itu, banyak warga sedesanya yang tertarik mengikuti jejak Zaenal. Pemasaran dan pembelian ternak kemudian dilakukan bersama secara berkelompok. Zaenal juga bertugas mencari para pembeli Sedemikian berkembangnya usaha ini, sampai-sampai Zaenal kewalahan bahkan terpaksa menolak warga yang ingin turut bermitra kerja.
Ia kemudian mengatur strategi. Zaenal merekrut pengarat dari kalangan pemuda putus sekolah maupun pengangguran lulusan SLTP dan SLTA. Dari 80 anggota kelompoknya yang sampai sekarang belum punya nama itu, 65 di antaranya pemuda berusia di bawah 30 tahun.
Struktur upah kerja dan pembagian keuntungan dijalankan secara sederhana. Zaenal memberi contoh, dalam satu periode pemeliharaan (sekitar empat bulan) terkumpul dana dari para anggota sebesar Rp 57 juta sebagai modal awal.
Jika semua ternak terjual Rp 100 juta, hasil penjualan total disisihkansebesar modal awal. Sisanya, Rp 43 juta, dipotong 20 persen untuk para pemegang modal dan selebihnya dibagikan untuk para pengarat. Dengan cara itu, menjelang Idul Fitri pun Zaenal bisa memberi "sekadar" tunjangan hari raya kepada para pengarat.
Model manajemen seperti ini dinilai pas oleh para anggota kelompok. Malah, para pengarat sekarang rata-rata sudah memiliki sepeda motor yang dibeli dari hasil upah kerja mereka.
"Kalau sebelum masa panen (penjualan), mereka membutuhkan uang atau beras, kami kasih pinjam dulu. Nanti setelah panen, upahnya dipotong sesuai jumlah pinjaman masing-masing," ungkapnya.
Disewakan
Dari hasil enam tahun berjualan kambing, Zaenal mampu membeli truk pengangkut pasir seharga Rp 240 juta dan mobil bak terbuka seharga Rp 48 juta. Truk itu dia sewakan untuk mengangkut pasir dan batu bata, sementara mobil bak terbuka dipakaiuntuk antar-jemput kambing ke konsumen dan pasar maupun membawa pengarat untuk mencari rumput
Sebelumnya, Zaenal, anak keempat dari lima bersaudara pasangan Amaq Sahman dan Inaq Sahman ini, sempat mendapat cibiran dari banyak orang atas usahanya itu. Namun, ia berhasil membuktikan bahwa ketekunan dari usaha "sederhana" itu tidaklah sia-sia Cibiran itu pun berubah menjadi rasa hormat Ayah tiga anak ini bahkan didaulat menjadi pemimpin aktivitas Gaung Puri Rinjani Jurit, yang beranggotakan 237 putra dan putri desa itu.
Mereka menjadi "tulang punggung" desa untuk menjalankan kegiatan gotong royong, berkesenian, sampai penyelenggaraan perayaan maupun hajatan warga desa
Zaenal yang berperawakan tegap dan berambut pendek itu ibarat suluh penerang. Dia telah memberi arah perubahan bagi masyarakat dan sesamanya meski baru dalam lingkup Desa Jurit
sumber = Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar